Selamat untuk saudari Fahma Hakiki yang telah memenangkan Sayembara K3 punya karya Edisi ke-2. Cerpen "Pulang" karya Fahma Hakiki ini juga telah terbit di buletin Hi-Magz Edisi ke 2. Sekali lagi, selamat untuk Saudari Fahma Hakiki.
PULANG
Karya:
Fahma Hakiki
Aku duduk terpaku
memandangi pemandangan di luar bus yang akan membawaku ke kota yang telah
membesarkanku dengan caranya sendiri, Solo. Jika bukan karena telpon ibu yang
merayuku untuk segera pulang, tak pernah terpikir olehku untuk segera pulang.
Bukan karena aku tak merindukan ibuku atau membenci beliau, tapi pekerjaanlah
yang enggan melepasku pergi. Telpon ibu yang selama sebulan ini terus
mengejarku untuk segera pulang, kadang aku tak meresponnya. Tetapi ibu tetap
kukuh merayuku untuk segera pulang. Maaf ibu, aku tahu kalau engkau begitu
merindukanku. Bukan aku menjadi pembangkang tapi memang
beginilah keadaannnya. Delapan tahun aku bergulat dengan kerasnya ibukota,
mencari pekerjaan yang sekiranya bisa mencukupi setiap kebutuhan ibuku di
rumah. Dan mungkin kepulanganku selama sewindu ini bisa dihitung dengan jari.
Bus ini membawaku
berjam-jam melintasi setiap kota yang berbeda, dan akhirnya berhenti di sebuah
terminal. Masuklah seorang pria dengan perawakan tinggi kurus, yang kira-kira
seumuran denganku berjalan menghampiri kursi disebelahku yang benar-benar
kosong sedari tadi. Dan ia benar-benar menduduki kursi kosong tersebut. Pria
itu duduk sambil melemparkan senyumnya padaku. Buspun melanjutkan
perjalanannya.
Beberapa menit kami
berdua terdiam, bukan aku tak ingin menyapa atau hanya sekedar berbincang
basa-basi dengannya. Keenggananku untuk bicara ini karena aku hanya ingin
mengharapkan perjalananku ini segera sampai, bertemu dengan ibu dan kembali
lagi ke ibukota.
“Mase, mau kemana?”,
pria itu akhirnya yang membuka percakapan diantara kami dengan logat jawanya
yang khas.
“Mau ke Solo, mas”,
jawabku singkat.
“Ooh, tiyang Solo to mas? Wah sama mas, sayainggih
asli tiyang Solo.”, katanya sambil
melemparkan senyum.
Aku hanya bisa
membalasnya dengan senyum. Sepertinya pria ini memang begitu ramah dengan orang
yang tidak ia kenal sekalipun.
“Saya memang asli tiyang Solo mas, tapi saya tinggal di
Jogja, hehe. Ngapunten, mase namanya
siapa nggih?”
“Saya Anwar, mas.”
“Ooh mas Anwar. Kulo Kardi, mas Anwar nyambut damel ten pundi mas?”
“Di Jakarta, kantoran.”
“Kerja kantoran nggih mas, luwih sae katimbang kulo mas. Kulo
mung dadi pedagang.”, kata Kardi sambil tertawa kecil.
“Ada perlu apa ke Solo
mas? Kok mboten langsung ke Jogja?”,
tanyaku.
“Saya mau nyekar ke makam simbok bapak. Simbok bapak
saya sampun meninggal mas.”
Hening,aku sedikit
menyesal karena menanyakan urusan yang sangat sensitive bagi seseorang. Aku
menatap Kardi, tatapan Kardi seperti mengais kenangan-kenangan dulu yang
sepertinya tersirat sebuah kekecewaan yang masih memberinya mimpi buruk sampai
saat ini.
“Maaf mas Kardi.”
“Halah-halah, mboten punopo mas. Bapak sampun meninggal pas kulo tasih kecil mas, simbok meninggal
pas kulo kerjo ten Semarang. Simbok setiap
hari telpon kulo mas, simbok pengen
putrane niki pulang. Tapi kulo mboten mengiyakan, saking sibukke
mas. Satu bulan kemudian, kulo
dikabari simbok sampun meninggal.
Kecewa berat mas, kulo mboten saget dadi putrane sing berbakti.”, kata Kardi.
Aku terdiam, tertegun
mendengar cerita Kardi. Apa yang dia alami mungkin juga akan terjadi padaku,
meskipun kami juga sama-sama masih telah ditinggal ayah sejak kecil tapi aku
masih mempunyai ibu. Sedangkan Kardi sudah kehilangan ibunya. Mungkin aku akan
kehilangan ibu seperti Kardi suatu hari nanti karena sebuah keegoisan. Aku merenung,
memikirkan apa yang telah aku berikan pada ibu. Aku hanya bisa memberinya
harta, bukan kebahagiaan. Mungkin satu-satunya kebahagiaan yang ibu inginkan
saat ini adalah bersamaku. Melihat dan memanjakan anaknya setiap hari, anak
satu-satunya.
Setelah cerita Kardi tadi,
aku tak banyak bertanyapada Kardi. Di sepanjang perjalanan Kardi banyak
bercerita bagaimana hidupnya sekarang, bagaimana ia bisa diasuh Bulek Pakleknya
di Jogja sejak kecil. Mungkin untuk orang seperti Kardi, derita tak pernah
membuatnya menyerah dengan keadaan. Setiap orang pernah menyesal dan penyesalan
itu selalu datang terlambat. Yang hanya bisa kita lakukan sebagai manusia
adalah belajar dari penyesalan tersebut dan berusaha mengikhlaskannya.
Tak terasa perjalanan ini
telah berakhir, perjalanan panjang yang membawaku ke kota yang entah mengapa aku sangat rindukan ini.
“Saya turun duluan ya
mas.”, kata Kardi sambil menjinjing tas bawaannya. Sekali lagi Kardi melemparkan
senyum hangatnya untuk terakhir kali.
Aku hanya bisa
mengangguk mengiyakan bahwa aku mengizinkan Kardi untuk turun terlebih dahulu. Aku
mengambil tas bawaanku. Seturun dari bus aku hanya bisa melihat siluet Kardi,
langkah Kardi ternyata telah jauh berjalan. Senja itu, aku segera mencari
taksi. Aku ingin segera pulang, menemui ibuku.
Akhirnya taksi ini
membawaku menuju sisa perjalanan ke rumah. Kotaini yang hampir sewindu aku
tinggalkan, kota yang benar-benar telah memberiku kenangan. Berhentilah taksi
ini di sebuah rumah yang kecil dengan tokokelontong di depannya. Seorang wanita
paruh baya sedang duduk di teras rumah sambil menjahit baju dengan jarum
ditangannya. Saat taksi berhenti tepat di depan rumahnya, ia menoleh. Dan betapa
senyumnya mengembang ketika melihat orang yang
telah lama ia rindukan. Anak satu-satunya yang hampir sewindu, ia tak
pernah melihatnya, menyentuh dan membelainya.
Aku berjalan menghampiri
ibu, ku lihat garis-garis wajah yang mulai menua karena termakan usia. Ibu memelukku
sangat erat, pelukan hangat yang mengisyaratkan seperti ‘aku sangat
merindukanmu, nak’. Ibu betapa aku sangat merindumu, meskipun rinduku ini tak
sebanding dengan rindu yang telah kau pikul selama ini. Kesepian yang setiap
hari menemani harimu. Betapa aku anak yang tak bisa berbakti dengan baik padamu
ibu. Aku ingat terakhir kali nasehatmu sebelum aku pergi. “Apapun yang terjadi,
masalah apapun yang kauhadapi. Kau tak mampu memikulnya dan kau tak punya
tempat tujuan. Pulanglah, ibumu ini adalah rumah yang selalu menantimu
kembali”.
Iya ibu, sekarang aku
pulang. Niat kepulanganku hanya ingin menengokmu kini berubah. Aku ingin selalu
disampingmu, menemani diakhir masa senjamu. Ibu, engkau adalah rumah yang
paling setia menanti kapan saja ketika aku pulang.
-Selesai-
@hakiki__
0 komentar:
Posting Komentar