Kamis, 19 September 2013

K3 Punya Karya 2 - "Pulang" karya Fahma Hakiki

Selamat untuk saudari Fahma Hakiki yang telah memenangkan Sayembara K3 punya karya Edisi ke-2. Cerpen "Pulang" karya Fahma Hakiki ini juga telah terbit di buletin Hi-Magz Edisi ke 2. Sekali lagi, selamat untuk Saudari Fahma Hakiki.

PULANG
Karya: Fahma Hakiki

Aku duduk terpaku memandangi pemandangan di luar bus yang akan membawaku ke kota yang telah membesarkanku dengan caranya sendiri, Solo. Jika bukan karena telpon ibu yang merayuku untuk segera pulang, tak pernah terpikir olehku untuk segera pulang. Bukan karena aku tak merindukan ibuku atau membenci beliau, tapi pekerjaanlah yang enggan melepasku pergi. Telpon ibu yang selama sebulan ini terus mengejarku untuk segera pulang, kadang aku tak meresponnya. Tetapi ibu tetap kukuh merayuku untuk segera pulang. Maaf ibu, aku tahu kalau engkau begitu merindukanku. Bukan aku menjadi pembangkang tapi memang beginilah keadaannnya. Delapan tahun aku bergulat dengan kerasnya ibukota, mencari pekerjaan yang sekiranya bisa mencukupi setiap kebutuhan ibuku di rumah. Dan mungkin kepulanganku selama sewindu ini bisa dihitung dengan jari.
Bus ini membawaku berjam-jam melintasi setiap kota yang berbeda, dan akhirnya berhenti di sebuah terminal. Masuklah seorang pria dengan perawakan tinggi kurus, yang kira-kira seumuran denganku berjalan menghampiri kursi disebelahku yang benar-benar kosong sedari tadi. Dan ia benar-benar menduduki kursi kosong tersebut. Pria itu duduk sambil melemparkan senyumnya padaku. Buspun melanjutkan perjalanannya.
Beberapa menit kami berdua terdiam, bukan aku tak ingin menyapa atau hanya sekedar berbincang basa-basi dengannya. Keenggananku untuk bicara ini karena aku hanya ingin mengharapkan perjalananku ini segera sampai, bertemu dengan ibu dan kembali lagi ke ibukota.
“Mase, mau kemana?”, pria itu akhirnya yang membuka percakapan diantara kami dengan logat jawanya yang khas.
“Mau ke Solo, mas”, jawabku singkat.
“Ooh, tiyang Solo to mas? Wah sama mas, sayainggih asli tiyang Solo.”, katanya sambil melemparkan senyum.
Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum. Sepertinya pria ini memang begitu ramah dengan orang yang tidak ia kenal sekalipun.
“Saya memang asli tiyang Solo mas, tapi saya tinggal di Jogja, hehe. Ngapunten, mase namanya siapa nggih?”
“Saya Anwar, mas.”
“Ooh mas Anwar. Kulo Kardi, mas Anwar nyambut damel ten pundi mas?”
“Di Jakarta, kantoran.”
“Kerja kantoran nggih mas, luwih sae katimbang kulo mas. Kulo mung dadi pedagang.”, kata Kardi sambil tertawa kecil.
“Ada perlu apa ke Solo mas? Kok mboten langsung ke Jogja?”, tanyaku.
“Saya mau nyekar ke makam simbok bapak. Simbok bapak saya sampun meninggal mas.”
Hening,aku sedikit menyesal karena menanyakan urusan yang sangat sensitive bagi seseorang. Aku menatap Kardi, tatapan Kardi seperti mengais kenangan-kenangan dulu yang sepertinya tersirat sebuah kekecewaan yang masih memberinya mimpi buruk sampai saat ini.
“Maaf mas Kardi.”
“Halah-halah, mboten punopo mas. Bapak sampun meninggal pas kulo tasih kecil mas, simbok meninggal pas kulo kerjo ten Semarang. Simbok setiap hari telpon kulo mas, simbok pengen putrane niki pulang. Tapi kulo mboten mengiyakan, saking sibukke mas. Satu bulan kemudian, kulo dikabari simbok sampun meninggal. Kecewa berat mas, kulo mboten saget dadi putrane sing berbakti.”, kata Kardi.
Aku terdiam, tertegun mendengar cerita Kardi. Apa yang dia alami mungkin juga akan terjadi padaku, meskipun kami juga sama-sama masih telah ditinggal ayah sejak kecil tapi aku masih mempunyai ibu. Sedangkan Kardi sudah kehilangan ibunya. Mungkin aku akan kehilangan ibu seperti Kardi suatu hari nanti karena sebuah keegoisan. Aku merenung, memikirkan apa yang telah aku berikan pada ibu. Aku hanya bisa memberinya harta, bukan kebahagiaan. Mungkin satu-satunya kebahagiaan yang ibu inginkan saat ini adalah bersamaku. Melihat dan memanjakan anaknya setiap hari, anak satu-satunya.
Setelah cerita Kardi tadi, aku tak banyak bertanyapada Kardi. Di sepanjang perjalanan Kardi banyak bercerita bagaimana hidupnya sekarang, bagaimana ia bisa diasuh Bulek Pakleknya di Jogja sejak kecil. Mungkin untuk orang seperti Kardi, derita tak pernah membuatnya menyerah dengan keadaan. Setiap orang pernah menyesal dan penyesalan itu selalu datang terlambat. Yang hanya bisa kita lakukan sebagai manusia adalah belajar dari penyesalan tersebut dan berusaha mengikhlaskannya.
Tak terasa perjalanan ini telah berakhir, perjalanan panjang yang membawaku ke kota yang  entah mengapa aku sangat rindukan ini.
“Saya turun duluan ya mas.”, kata Kardi sambil menjinjing tas bawaannya. Sekali lagi Kardi melemparkan senyum hangatnya untuk terakhir kali.
Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan bahwa aku mengizinkan Kardi untuk turun terlebih dahulu. Aku mengambil tas bawaanku. Seturun dari bus aku hanya bisa melihat siluet Kardi, langkah Kardi ternyata telah jauh berjalan. Senja itu, aku segera mencari taksi. Aku ingin segera pulang, menemui ibuku.
Akhirnya taksi ini membawaku menuju sisa perjalanan ke rumah. Kotaini yang hampir sewindu aku tinggalkan, kota yang benar-benar telah memberiku kenangan. Berhentilah taksi ini di sebuah rumah yang kecil dengan tokokelontong di depannya. Seorang wanita paruh baya sedang duduk di teras rumah sambil menjahit baju dengan jarum ditangannya. Saat taksi berhenti tepat di depan rumahnya, ia menoleh. Dan betapa senyumnya mengembang ketika melihat orang yang  telah lama ia rindukan. Anak satu-satunya yang hampir sewindu, ia tak pernah melihatnya, menyentuh dan membelainya.
Aku berjalan menghampiri ibu, ku lihat garis-garis wajah yang mulai menua karena termakan usia. Ibu memelukku sangat erat, pelukan hangat yang mengisyaratkan seperti ‘aku sangat merindukanmu, nak’. Ibu betapa aku sangat merindumu, meskipun rinduku ini tak sebanding dengan rindu yang telah kau pikul selama ini. Kesepian yang setiap hari menemani harimu. Betapa aku anak yang tak bisa berbakti dengan baik padamu ibu. Aku ingat terakhir kali nasehatmu sebelum aku pergi. “Apapun yang terjadi, masalah apapun yang kauhadapi. Kau tak mampu memikulnya dan kau tak punya tempat tujuan. Pulanglah, ibumu ini adalah rumah yang selalu menantimu kembali”.
Iya ibu, sekarang aku pulang. Niat kepulanganku hanya ingin menengokmu kini berubah. Aku ingin selalu disampingmu, menemani diakhir masa senjamu. Ibu, engkau adalah rumah yang paling setia menanti kapan saja ketika aku pulang.
-Selesai-

@hakiki__

0 komentar:

Posting Komentar